Tri Marsidah
Kamis, 18 Februari 2016
Minggu, 07 Juni 2015
Sabtu, 16 Mei 2015
Toksikologi Veteriner
MEKANISME TERATOGENIK
Oleh:
TRI MARSIDAH
1202101010085
Kelas : B

Pendidikan Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
2015
1.
Pengertian
Teratogen adalah suatu obat atau zat yangmenyebabkan pertumbuhan janin yang
abnormal. Kata teratogen berasal daribahasa Yunani yaitu ‘teratos’, yang berarti
monster, dan ‘genesis’ yang berarti asal. Jadi teratogenesis didefinisikan
sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhanyang menghasilkan monster.
Teratogenik
adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari
perubahan fisiologi dan biokimia. Senyawa teratogen akan berefek teratogenik
pada suatu organisme, bila diberikan pada saat organogenesis. Apabila teratogen
diberikan setelah terbentuknya sel jaringan, sistem fisiologis dan sistem
biokimia, maka efek teratogenik tidak akan terjadi Teratogenesis merupakan
pembentukan cacat bawaan.
2.
Mekanisme
Teratogenik
Kerentanan
terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium perkembangan saat paparan. Masa
yang paling sensitif untuk menimbulkan cacat lahir pada manusia adalah masa
kehamilan minggu ketiga hingga kedelapan. Masing-masing sistem organ mempunyai
satu atau beberapa stadium kerentanan. Manifestasi perkembangan abnormal
tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap suatu teratogen. Teratogen
bekerja dengan cara spesifik pada sel-sel dan jaringan ringan yang sedang
berkembang untuk memulai patogenesis yang abnormal. Manifestasi perkembangan
abnormal adalah kematian, malformasi, keterlambatan perkembangan, dan gangguan
fungsi (Anonimus, 2003).
Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan coba.
Terdapat beberapa jenis mekanisme yang terlibat dalam efek teratogennya.
1.
Gangguan terhadap asam nukleat
Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi
dan transkripsi (suatu tahapan pembentukan DNA) asam nukleat, atau translasi
RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit dan intercelating agents. Beberapa
zat kimia ini memang sudah aktif, sedangkan yang lainnya, misalnya aflatoksin
dan talidomid membutuhkan bioaktivasi.
2.
Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas
Teratogen tertentu dapat mempengaruhi
pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi
persediaan substrat (misalnya defisiensi makanan) atau bertindak sebagai analog
atau antagonis vitamin, asam amino esensial, dan lainnya. Selain itu hipoksia
dan penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan
mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang membutuhkan oksigen dan
mungkin juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas. Hal ini dapat
menyebabkan edema atau hematoma, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
kelainan bentuk dan iskemia jaringan.
3.
Penghambatan enzim
Adanya penghambat enzim dapat menyebabkan
cacat karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan
kerja suatu enzim. Akibatnya suatu organ mengalami ketidaksempurnaan dalam
penyusunannya, sehingga akan terlahir dalam keadaan cacat.
4.
Lainnya
Hipervitaminosis A dapat menyebabkan
kerusakan ultrastruktural pada membrane sel embrio hewan pengerat, suatu
mekanisme yang dapat menerangkan tertogenitas vitamin A. Faktor fisika yang
dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan hipertermia, serta
trauma mekanik.
Banyak zat-zat kimia
terbukti bersifat teratogen pada hewan coba tetapi tidak pada manusia yang
mungkin disebabkan manusia kurang rentan dan tingkat pajanan yang tinggi pada
manusia. Efek teratogenik suatu zat kimia dapat muncul berupa tingkat
kebuntingan yang rendah, jumlah anak per induk yang berkurang dan ketahanan
hidup janin yang rendah (Frank, 1995).
Perkembangan tidak
normal dapat disebabkan oleh faktor genetik seperti mutasi dan aberasi serta
faktor lingkungan baik yang berasal dari obat, radiasi, infeksi, defisiensi dan
emosi. Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat
atau translasi RNA. Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang
digunakan untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan
substrat dan analog seperti glukosa, asam amino dan vitamin. Kondisi hipoksia
juga bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang
membutuhkan oksigen yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan osmolaritas.
Ketidakseimbangan ini meyebabkan odema yang pada gilirannya dapat menyebabkan
kelainan bentuk dan iskemia jaringan (Yatim, 1982; Poernomo, 1999).
Mekanisme terjadinya
efek teratogenik akibat obat-obat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mekanisme
kerja teratogen adalah sebagai berikut (Harbinson, 2001):
1.
Pemecahan kromosom
Pemecahan
kromosom dapat menyebabkan defisiensi atau penataulangan kromosom. Aberasi kromosom dapat disebabkan oleh virus, radiasi
atau senyawa kimia. Defisiensi kromosom biasanya bersifat
letal terhadap sel atau organisme dan kelebihan kromosom juga akan merusak sel.
2.
Mutasi
Merupakan
dasar cacat perkembangan yang merupakan perubahan urutan nukleotida pada DNA.
Informasi yang dikode pada DNA akan disalin dengan salah ke RNA dan protein. Bila berefek pada sel somatik maka tidak akan bersifat
turunan. Mutasi sel somatik pada awal sel embrionik dapat mempengaruhi sel yang
sedang berkembang, menyebabkan cacat struktur dan fungsi. Mutasi dapat
disebabkan radiasi, zat kimia, senyawa pengalkilasi dan faktor lain yang
menyebabkan pemecahan kromosom
3.
Gangguan mitosis
Gangguan mitosis disebabkan senyawa sitotoksik yang
menghambat sintesa DNA sehingga memperlambat miosis. Benang mitosis
gagal terbentuk
akibat senyawa kimia yang menggangu polimerasi tubulin kedalam kumparan
mikrotubula. Tanpa kumparan tersebut, kromosom tidak dapat memisah pada fase
anafase. Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh radiasi dosis tinggi atau
senyawa radiometrik.
4.
Kurang
prekusor dan substrat untuk biosintesa
Biosintesa akan berubah karena kurangnya zat makanan
tertentu. Adanya analog vitamin, asam amino tertentu, dan pirimidin dapat
menyebabkan metabolit yang tidak normal dalam biosintesa.
5.
Mengubah
integritas asam nukleat atau fungsinya
Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik dan
antineoplasma. Senyawa ini dapat mengganggu replikasi, transkripsi dan
translasi RNA. Gangguan translasi RNA dan sintesis protein merupakan mekanisme
teratogenitas senyawa sitotoksis. Senyawa yang dapat mengganggu sintesa protein
umumnya bersifat embriosida tapi dapat bersifat teratogenik.
6.
Suplai energi
Terganggunya suplai energi seperti kekurangan sumber
glukosa dapat mengganggu perkembangan fetus. Gangguan glikolisis oleh senyawa
iodo asetat dapat mengurangi penghasilan energi dan dapat menyebabkan kelainan
pada fetus dan kurangnya riboflavin dapat menyebabkan teratogenitas.
7.
Perubahan sifat membran
Perubahan sifat membran dapat menyebabkan
ketidakseimbangan osmolar. Hipervitaminosis
A dapat merusak membran seluler pada embrio rodensia.
8.
Fungsi enzimatis
Fungsi enzimatis ini penting untuk pertumbuhan dan
diferensiasi. Antagonis asam folat akan menghambat dehidrofolat reduktase dan
bersifat teratogenik. Asetazolamid menghambat karbonik anhidrase dan akan
mempengaruhi perkembangan fetus. Senyawa-senyawa teratogenik ini menghambat
enzim dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus.
Secara natural
cacat itu sulit dipastikan apa penyebabnya yang khusus. Mungkin sekali gabungan
atau kerja sama berbagai faktor genetis dan lingkungan. Secara experimental
dapat dibuat cacat dengan mempergunakan salah satu teratogen dan mengontrol
faktor lainnya. Proses kerja teratogen adalah sebagai berikut :
1.
Mengubah
kecepatan proliferasi sel
2.
Menghalangi
sintesa enzim
3.
Mengubah
permukaan sel sehingga agregasi tidak teratur
4.
Mengubah matrix
yang mengganggu perpindahan sel-sel
5.
Merusak organizer
atau daya kompetisi sel berespons (Yatim, 1994).
Kelainan teratogenik yang timbul ditentukan oleh tempat kerja (site of
action) dan tahap kerja (stage of action) dari perkembangan organ yang
dipengaruhi. Terdapat empat tingkatan aksi zat teratogen yaitu:
1.
aksi primer yang terjadi pada kompartemen intraseluler
(intracellular compartement) pada rangkaian interaksi antara inti dan
sitoplasma pada produksi metabolit yang khas dari sel tersebut.
2.
aksi primer terjadi karena kelainan dalam struktur dan
fungsi dari permukaan sel (cell surface).
3.
terjadi karena ketidaknormalan pada matriks ekstraseluler
(celluler matrix).
4.
pada lingkungan janin (fetus environment)
ketidaknormalan pada tingkat organisme atau dalam hubungan feto-maternal.
Tahap kerja (Stage of Action) pada perkembangan organ tubuh, tahap ini
merupakan tahap perkembangan organ selama embriogenesis berupa rangkaian
tingkat yang berbeda-beda yang dikontrol dengan tepat. Pada tahap ini akan
terbentuk susunan jaringan yang teratur dengan bentuk dan ukuran yang spesifik
serta stadium pertumbuhan ini sangat peka terhadap faktor genetik maupun faktor
lingkungan. Perubahan pada tiap tahap pertumbuhan mempunyai kepekaan terhadap
teratogen yang berbeda. Perkembangan suatu organ meliputi kejadian-kejadian
yang dapat dibedakan menjadi : determinasi, proliferasi, organisasi seluler,
migrasi dan kematian morfologik sel (Yatim, 1982).
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Lukman, Epi. (2011). Teratologi.
[Online]. Tersedia: http://epyfkh.blog.unair.ac.id/category/teratologi/ [7 April 2013]
http://www.everythingessential.me/HealthConcerns/MuscularDystrophy.html
Yatim,
Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito: Bandung.
Ilmu Penyakit Dalam Hewan Kecil
LAPORAN
AKHIR PRAKTIKUM
ILMU
PENYAKIT DALAM HEWAN KECIL
DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK IX
Baida
Murliana
Tri Marsidah
Nurul A’la
Nabila
Latifa H.S
Yuza
Al-Iqwal
Irsyad Arfi
Putra
Rori Setiadi
Ginting

LABORATORIUM
KLINIK
PROGAM STUDI
KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS
KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS
SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2015
PENDAHULUAN
1.1 Tinjauan Pustaka
Handling
adalah memegang hewan dengan tangan. Sedangkan restrain adalah pembatasan
aktivitas hewan dengan verbal, fisik, atau farmakologis. Artinya sehingga hewan
tersebut dicegah dari melukai dirinya sendiri atau orang lain. Merestrain
anjing secara paksa berbahaya untuk kedua handler dan hewan. Oleh karena itu
pemiliknya sangat baik untuk menangani dengan aman dan manusiawi dengan lembut
dan meminimalisir pengendalian fisik (Andayani, 2012).
Penggunaan
agen farmakologis untuk membantu dalam restrain dibolehkan ketika: a) prosedur
yang menyakitkan, b) prosedur yang memerlukan memegang seekor hewan dalam
posisi yang membahayakan pernapasannya, dan c) hewan sangat takut atau agresif
(Andayani, 2012).
Tujuan dari
restrain antara lain:
1.
Untuk memudahkan pemeriksaan fisik, termasuk tetes mata
dan pemeriksaan rektal,
2.
Untuk mengelola lisan, bahan suntik, dan topikal,
3.
Untuk menerapkan perban,
4.
Untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya
kateterisasi urin), dan
5.
Untuk mencegah melukai diri sendiri (Elizabeth
collar) (Andayani, 2012).
Tetapi
strain pada anjing juga beresiko menyebabkan: 1. Dyspnea, 2. Hyperthermia, 3.
Trauma jaringan (mis. otot lurik), dan stress (Andayani, 2012).
Restrain (pengekangan) tindakan mencegah aksi atau gerakan maju dengan
kekuatan moril atau fisik maupun dengan membuat suatu hambatan. Jadi
pengekangan adalah proses pencegahan suatu aksi atau gerakan dan pengekangan
pasien adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang dokter hewan
(Soegiri, 2007).
Sedative dan anastesi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah
pergerakan dan kegunaannya tidak boleh diabaikan. Kadang-kadang kombinasi suatu
cara pengekangan fisik yang sederhana dengan suatu sedative sudah cukup,
sedangkan dalam hal lain diperlukan anastesi sempurna, atau seekor hewan diberi
anastesi serta kakinya diikat untuk mencegah masuknya debu pada luka yang
terbuka (Soegiri, 2007).
Restraint dengan cara yang sama Pada anjing moncong panjang: ”Loop” dari
tali kompor atau perban dengan simpul surgeon’s knot diselipkan ke moncong
anjing kemudian dikencangkan (posisi organ searah dengan anjing, tidak
berhadapan dengan anjing). Selanjutnya tali ditarik kebawah dagu dan disimpul
dengan overhand knot, kemudian tali ditarik kearah dorsal leher dan disimpul
dengan kuat dengan reefers’s knot (Rendrawan, 2014).
Jika pada moncong pendek, caranya sama dengan anjing moncong panjang,
tetapi harus dilanjutkan dengan menarik salah satu dari dua ujung tali didorsal
leher ke arah rostral, dikaitkan dengan ‘loop’ yang pertama lalu ditarik
kembali kearah dorsal. Kemudian dengan ujung tali yang lain disimpul atau
dibuat simpul menggunakan metode reefer’s knot (Rendrawan, 2014).
Menurut Boddie (1962), sejarah dari suatu kasus dapat dibagi menjadi pre
history, immediate history, dan post history.
1.
Prehistory
Merupakan cerita mengenai
kejadian-kejadian sebelum terjadinya penyakit yang dikomplainkan klien.
Misalnya saja penyakit yang dulu pernah diderita pasien, kebuntingan yang dulu
pernah dialami pasien (jika betina), komplikasi yang terjadi pada kebuntingan
yang terdahulu, mungkin juga penyakit yang pernah dialami teman bermain
si anjing, cara pemberian makan, dan mungkin juga keadaan lingkungan tempat
tinggal anjing.
2.
Immediate history
Merupakan sejarah sejak hewannya
pertama kali menunjukkan gejala penyakit yang dikomplainkan oleh klien hingga
saat pasien dibawa dan dirawat oleh dokter hewan. Di sini klien dapat
menceritakan kemungkinan terjadinya penyakit pada klien menurut apa yang
dilihatnya.
3.
Post History
Merupakan sejarah dimana hewan
tersebut menunjukann gejala atau perubahan-perubahan setelah dirujuk ke dokter
hewan lain atau dengan pemberian obat terlebih dahulu sebelum dirujuk ke dokter
hewan(Boddie, 1956).
Sinyalmen atau jati diri atau identitas diri atau ciri-ciri seekor hewan
merupakan ciri pembeda yang membedakannya dari hewan lain sebangsa dan sewarna
meski ada kemiripan satu sama lainnya (twin) (Widodo, 2011).
Sinyalmen terdiri dari data pasien yang harus diketahui seperti nama/nomor,
spesies, ras/breed, kelamin/sex, umur/age, bulu dan warna/spesifik pattern,
berat badan dan tanda-tanda lain yang penting, dan data yang lain yang harus
diketahui yaitu data klien yang berupa nama, alamat dan nomor telepon
(Ikliptikawati, 2014).
Anamnesis atau history atau sejarah hewan adalah berita atau
keterangan atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan
hewannya ketika dibawa dating berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat
pula berupa keterangan tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika
pemilik telah sering dating berkonsultasi (Widodo, 2011).
Sinyalemen merupakan identitas diri suatu hewan yang membedakannya dengan
hewan lain. Hal tersebut berupa nama, spesies, ras/breed, sex/kelamin,
umur/age, warna, berat badan, tanda khusus. Sinyalemen juga dapat membantu
untuk mengetahui kerentangan suatu penyakit yang dapat terjadi pada hewan
(kambing).Setelah sinyalemen, dilakukan
anamnesa yang berupa keterangan dari pemilik hewan. Biasanya kambing yang
dipelihara pribadi maupun di ternakkan akan mendapatkan keterangan yang berbeda
(Triakoso,
2011).
Inspeksi dan adspeksi diantaranya melihat, membau,
dan mendengarkan tanpa alat bantu. Diusahakan agar hewan tenang dan tidak
curiga kepada pemeriksa. Inspeksi dari jauh dan dekat terhadap pasien secara
menyeluruh dari segala arah dan keadaan sekitarnya. Diperhatikan pula ekspresi
muka, kondisi tubuh, pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan
lubang alami, aksi dan suara hewan (Boddie. 1962).
Pulsu, temperatur dan nafas; Pulsus diperiksa pada
bagian arteri femoralis yaitu sebelah medial femur (normal: 92-150/menit).
Nafas diperiksa dengan menghitung frekuensi dan memperhatikan kualitasnya
dengan melihat kembang-kempisnya daerah thoraco-abdominal dan menempelkan
telapak tangan di depan cuping bagian hidung (normal: 26-48/menit). Temperatur
diperiksa pada rectum dengan menggunakan termometer (normal: 37,6-39,4)
(Boddie. 1962).
Conjunctiva diperiksa dengan cara menekan dan
menggeser sedikit saja kelopak mata bawah. Penampakan conjunctiva pada kucing
tampak pucat. Membran mukosa yang tampak anemi (warna pucat) dan lembek
merupakan indikasi anemia. Intensitas warna conjunctiva dapat menunjukkan
kondisi peradangan akut seperti enteritis, encephalonitis dan kongesti pulmo
akut. Cyanosis (warna abu- abu kebiruan) dikarenakan kekurangan oksigen dalam
darah, kasusnya berhubungan dengan pulmo atau sistem respirasi. Jaundice (warna
kuning) karena terdapatnya pigmen bilirubin yang menandakan terdapatnya
gangguan pada hepar. Hiperemi (warna pink terang) adanya hemoragi petechial
menyebabkan hemoragi purpura (Boddie. 1962).
Pemeriksan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya
kelainan-kelainan dari suatu sistim atau suatu organ tubuh dengan cara melihat
(inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi) (Kozier
et al., 1995).
Pemeriksaan fisik adalah metode pengumpulan data yang sistematik dengan
memakai indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa untuk mendeteksi
masalah kesehatan klien.Untuk pemeriksaan fisik perawat menggunakan teknik
inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Potter & Perry, 1997).
Melihat, membau, dan mendengar penting untuk pemeriksaan fisik. Dokter
hewan yang baik menghindari membuat keputusan diagnosa berdasarkan data turunan
dari laboratorium yang melewatkan pemeriksaan fisik karena korelasi semua data
relevan untuk determinasi diagnosa yang tepat.Ketika memungkinkan, suhu dan
berat badan hewan seharusnya dicatat sebelum dokter hewan masuk ruang
pemeriksaan. Hal ini dilakukan oleh kooperator yang berkesempatan untuk
komunikasi dengan pemilik hewan atau klien, mengumpulkan informasi yang
berhubungan, catat perubahan berat, dan identifikasi pemilik hewan atau klien.Ini
adalah kesempatan yang baik bagi kooperator untuk mencatat obat yang baru saja
diberikan, penggunaan agen profilaksis (misal untuk cacing hati dan
kutu), status vaksinasi hewan, dan status reproduksinya (misal mandul, normal,
atau siklus birahi terakhir).Pemeriksaan fisik mulai ketika dokter hewan
memasuki ruang pemeriksaan. Dokter klinik harus melihat kenampakan umum tentang
hewan.(Ettinger, 2010).
1.2 Tujuan
Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan
bertujuan :
1. Untuk
mengumpulkan dan memperoleh data dasar tentang kesehatan klien.
2. Untuk
membuat penilaian klinis tentang perubahan status kesehatan klien dan
penatalaksanaan.
3.
Menentukan atau mengukur pulsus atau
pulsasi denyut jantung hewan
4.
Menentukan atau mengukur suhu tubuh
hewan melalui rektum
5.
Untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya
kateterisasi urin), dan
6.
Untuk mencegah melukai diri sendiri (Elizabeth
collar) (Andayani, 2012).
MATERI DAN
METODE
1. Alat dan Bahan
Peralatan
yang digunakan saat praktikum antara lain: timbangan, thermometer, hammer, stetoskop,
tali kompor
atau tali yang kuat untuk menghandling anjing maupun kucing, infus set, jarum
suntik, gunting bedah tumpul-tumpul bengkok, aboket 22 dan 24, kapas dan
perban. Bahan-materi atau bahan yang digunakan yaitu cairan infus, alcohol 70%
dan hewan praktikum berupa satu ekor anjing dan satu ekor kucing.
2.
Cara Kerja
Metode yang
digunakan adalah cara handling dan restrain serta vena sectio. Teknik restrain
pada anjing kecil dilakukan dengan cara tangan kanan diselipkan ke ventral
tubuh anjing dengan jari tangan (kecuali ibu jari) dilewatkan di antara kedua
kaki depan, sehingga menyangga bagian dada anjing. Tangan kiri digunakan untuk
memegang kulit bagian dorsal sehingga anjing tidak dapat menggigit. Usahakan
agar tubuh hewan terletak nyaman di pinggang pembawa. Untuk anjing ras besar,
restrain dapat dilakukan dengan cara menggendong, maka posisi anjing berada di
depan pembawa. Pada metode ini sebaiknya anjing direstrain moncongnya untuk
mencegah gigitan.
Teknik
restrain pada kucing yaitu tangan diselipkan di bagian ventral tubuh kucing,
dengan posisi jari teunjuk menopang dada kucing dan bagian jari lain menjepit
kaki depan kucing. Tangan kiri menahan bagian dorsal leher dengan lembut,
selanjutnya kucing diangkat. Jepit tubuh kucing di antara tekukan lengan dan
pinggang.
Cara
restrain moncong pada anjing yaitu ada dua yaitu restrain moncong panjang dan
moncong pendek. Pada anjing moncong panjang ada dua metode yang dapat digunakan
yaitu metode 1: ”Loop” dari tali kompor atau perban dengan simpul surgeon’s
knot diselipkan ke moncong anjing kemudian dikencangkan (posisi organ
searah dengan anjing, tidak berhadapan dengan anjing). Selanjutnya tali ditarik
kebawah dagu dan disimpul dengan overhand knot, kemudian tali ditarik
kearah dorsal leher dan disimpul dengan kuat dengan reefers’s knot. Pada
metode dua moncong terikat pada waktu yang lebih cepat dibandingkan metode
pertama, namun dari segi keamanan lebih rendah. Restrain moncong untuk anjing
bermoncong pendek sama seperti restrain moncong panjang metode 1, namun harus
dilanjutkan dengan menarik salah satu dari dua ujung tali di dorsal leher ke
rostral, dikaitkan dengan ‘loop’ yang pertama lalu ditarik kembali kea rah
dorsal. Kemudian dengan ujung tali yang lain disimpul atau dibuat simpul
menggunakan metode reefers’s knot. Adapun restrain moncong kucing sama
dengan restrain anjing moncong pendek.
Restrain
untuk injeksi intravena, pada anjing diperlukan pembantu/asisten intuk
merestrain anjing tersebut. Asisten menahan kepala anjing dengan lengan kanan.
Tangan yang lain menahan kaki depan anjing sekaligus membendung vena
cephalica. Sedapat mungkin lengan kiri menjepit tubuh hewan agar tetap
tenang. Pada kucing, restrain dilakukan dengan cara kaki depan kiri (terutama
carpal) dan kepala kucing ditahan dengan tangan kiri. Ibu jari asisten menekan
cakar kucing sehingga menempel pada muka kucing. Jari-jari tangan yang lain
dilingkarkan di bagian dorsal leher kucing sehingga posisi kucing terkunci.
Tangan kanan asisten digunakan untuk menahan kaki depan kanan sekaligus untuk
membendung vena cephalica. Posisi lengan diusahakan dapat menjepit tubuh
kucing agar tetap tenang.
Metode
yang digunakan adalah metode sinyalmen, anamnesis, inspeksi, palpasi, mencium
atau membaui, auskultasi, pemeriksaan laboratorium klinik dan pemeriksaan
dengan alat diagnostik lain yang harus dilakukan dalam pemeriksaan klinis pada
kucing dan anjing.
Metode
inspeksi dilakukan dengan cara melihat, membau, dan mendengarkan tanpa alat
bantu. Metode palpasi (meraba) dilakukan dengan cara superficial maupun
profundal. Palpasi superficial dilakukan dengan meraba seluruh tubuh kucing dan
anjing dimulai dari kepala hingga ke ekor hanya pada bagian superficial,
sedangkan palpasi profundal dilakukan hampir sama dengan cara palpasi
superficial namun dengan sedikit menekan untuk memastikan tidak ada kelainan
pada tubuh anjing ataupun tidak ada tulang yang patah.
Metode
perkusi (mengetuk), perkusi dapat dilakukan dengan menggunakan hammer ataupun
dengan menggunakan ujung jari. Perkusi yaitu mengetuk-ngetuk bagian tubuh
kucing dan didengarkan ada tidaknya kelainan atau bunyi yang berbeda (tidak
normal) pada beberapa bagian tubuhnya seperti perkusi daerah abdomen untuk
mendengarkan suara usus kucing, perkusi daerah thorax untuk mendengarkan suara
normal dan tidak normal pada paru-paru dan jantung, dapat juga dilakukan
perkusi pada bagian hidung untuk mengetahui ada tidaknya penumpukan cairan atau
kelainan yang lain.
Mencium atau
membaui, ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan aroma atau bau yang
ditimbulkan atau dikeluarkan dari lubang umlah hewan yang nantinya akan dapat
menuntun pemeriksaan fisik hewan pada kejadian penyakit tertantu.
Metode
auskultasi (mendengarkan), dilakukan dengan menggunakan stetoskop. Auskultasi
biasanya digunakan untuk mendengar suara jantung hewan, suara paru-paru, suara
gerakan peristaltik lambung maupun suara detak jantung janin pada kehamilan
trimester akhir atau kebuntingan tua.
Pemeriksaan
laboratorium klinik dimaksudkan untuk melengkapi data agar diperoleh keputusan
diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemeriksaan dapat dilakukan atas
sampel asal hewan/pasien untuk tujuan pemeriksaan histologis-patologis,
bakteriologis, parasitologis, serologis-immunologis, mikologis dan hematologis.
Pemeriksaan
dengan alat diagnostik lain seperti endoskopi (laringoskopi, bronchoskopi,
rektoskopi), ultrasonografi, X-Ray, elektrokardiografi, Magnetic Resonance
Imaging (MRI) atau Computed Tomography Scanning (CT Scan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pada
praktikum ini, diperoleh data pasien (sinyalmen) berupa:
Nomor : 01 Tanggal : 25 Maret 2015
Nama : Doggy Jenis hewan : Anjing
Pemilik : Rori Setiadi Alamat : Peukan Bada
Ras/Breed : Domestik
Kelamin/Sex : Jantan
Umur : 2 Bulan
Bulu Dan Warna : keadaan bulu bersih, warna coklat
Berat
Badan : 2 kg
Tanda-Tanda
Lain : bagian dagu terdapat corak hitam, moncong warna hitam, ekor hitam
panjang.
Setelah
sinyalmen, dilakukan anamnesa yang berupa keterangan dari pemilik hewannya
tentang sejarah penyakit si pasien (hewan) diperoleh:
1.
Status Present :
·
Keadaan Umum:
a. Gizi : Baik
b. Temperamen : Stres / Penakut
c. Habitus : Lodorsis
·
- Frekuensi nafas :
150/menit- tidak normal akibat karena anjing stres.
-
Frekuensi Pulsus :
160/menit- tidak normal akibat karena anjing stres.
-
Suhu Tubuh :
38,8°C Normal
·
Kulit dan Bulu :
Normal / tidak ada rontok
·
Selaput lendir :
Normal ( Basah)
·
Kelenjar Limfe :
Normal (tidak ada yang bengkak)
·
Alat Pernafasan :
Normal
·
Alat Peredaran Darah :
Normal
·
Alat Pencernaan :
Normal
·
Alat Kelamin :
Normal
·
Urat Saraf :
Normal
·
Alat Gerak :
Normal ( tidak ada luka pada anggota gerak) dan Lengkap.
·
Lain-lain :
ekor menekuk kedalam.
Pada hewan
yang diinspeksi selama praktikum ditemukan bahwa pasien tidak aktif (kurang
bergerak dan malas), cara berjalan normal, warna rambut normal/cerah, terdapat
leleran disekitar hidung, bagian tubuh lain seperti kulit normal, tidak
terdapat tonjolan ataupun lesi, daerah sekitar mulut bersih, tidak mengalami
dehidrasi setelah dilakukan pemeriksaan kulit, CRT normal, serta bau mulut
normal.
Pemeriksaan
pulsus dilakukan dengan cara meraba hewan kecil dibagian arteria femoralis di
sebelah medial dari femur dan dilakukan perhitungan selama satu menit, dan pada
perhitungan frekuensi nafas dilihat dari gerakan daerah toracoabdominal dalam
keadaan hewan istirahat dan dihitung frekuensi nafasnya selama satu menit.
Pemeriksaan pulsus diperoleh pulsus anjing 160 kali/menit, dan frekuensi
nafasnya 150 kali/menit. Untuk mengukur suhu tubuh digunakan thermometer
digital ataupun thermometer air raksa. Jika menggunakan thermometer air raksa,
kolom air raksa terlebih dahulu diturunkan ke titik 0 lalu ujungnya diberi
vaselin sebagai pelicin kemudian dimasukkan ke dalam anus si pasien, jika
menggunakan thermometer digital lebih mudah yaitu dengan hanya memasukkan ujung
thermometer ke dalam anus pasien dan menekan tombol ON dan ditunggu hingga
adanya bunyi maka diperolehlah suhu tubuhnya. Suhu tubuh pasien pada praktikum
ini yaitu 38,8 ˚C.
Pemeriksaan
alat pencernaan. Pada mulut setelah dibuka tidak tercium bau urea, gusi
berwarna pink pucat, lidah dan gigi bersih, pada faring, esophagus dan abdomen
hingga ke daerah anus setelah dilakukan palpasi tidak menunjukkan batuk atau
kontraksi berlebihan dari Anjing yang menunjukkan bahwa si pasien berada dalam
keadaan sehat. Hanya saja didapatkan ekornya seperti menekuk kedalam.
2.
Pembahasan
Registrasi
dilakukan untuk mencari data pasien maupun data dari klien atau pencatatan data
pemilik dan data dari pasien. Registrasi untuk klien meliputi pencatatan nama,
alamat, dan nomor telepon klien. Registrasi untuk pasien meliputi breed (ras),
sex (jenis kelamin), age (umur), dan specific pattern (tanda yang menciri)
(B-S-A-S). Registrasi ditulis di sebuah kertas yang disebut ambulatoir,
dimana masing-masing spesies hewan berbeda-beda warnanya, sebagai contoh anjing
dan kucing berwarna putih, sapi, hewan besar dan hewan
eksotik berwarna pink dan unggas berwarna kuning (Lane
and Coper.2003).
Pemeriksaan
klinis pada Anjing meliputi pemeriksaan yang didahului dengan sinyalmen atau
registrasi yang dilakukan terhadap pasien maupun terhadap klien (pemilik
hewan). Pada sinyalmen data yang perlu diketahui tentang pasien berupa nama,
spesies, ras, kelamin, umur, bulu dan warna, berat badan dan tanda-tanda lain
yang penting. Nama hewan, umumnya kucing memiliki nama panggilan yang
memudahkan pemilik hewan mendapati hewannya melalui isyarat atau notasi suara.
Hal ini juga dapat membantu dokter hewan dalam menghandling hewan tersebut agar
menuruti perkataan kita atau setidaknya menuruti perkataan pemiliknya untuk
memudahkan dalam pemeriksaan. Ras atau bangsa hewan berkaitan erat dengan
sifat-sifat yang diwariskan atau genetis terutama yang berkaitan dengan
penyakit yang diturunkan. Memudahkan dokter hewan untuk mendapatkan gambaran
cepat penyakit herediter. Jenis kelamin dalam sinyalmen memiliki arti
diagnostik jika dikaitkan dengan penyakit yang dihubungkan dengan kelamin
(Rendrawan,
2014).
Sinyalmen merupakan identitas diri
suatu hewan yang membedakannya dengan hewan yang lain, di mana sinyalmen selalu
dimuat di dalam pembuatan surat laksana jalan atau surat jalan bagi
hewan yang akan dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Fungsi lain dari
sinyalmen adalah pencantuman status kesehatan hewan di surat kesehatan
hewan atau surat statuus vaksinasi yang telah dijalaninya. Fungsi ketiga adalah
identitas diri di dalam rekam medic kerumahsakitan (Soegiri,
2007).
Anamnesis
merupakan sebuah riwayat yang baik jika dibeikan oleh pengamat yang baik
pula. Seringakali jawaban dari klien bersifat tidak benar, karena untuk
menutupi suatu kelaianan yang diderita pasien ataupun pengobatan yang telah
diberikan sebelumnya. Apa bila keadaan hewan tidak konsisiten dokter harus
mencurigakan adanya pertanyaan palsu yang berikan oleh pemilik atau wakilnya.
Dengan alasan apapun, riwayat yang demikian dipandang kurang untuk menguraikan
masalah penyakit yang dihadapi. Dalam melakukan anamnesa seorang dokter hewan
perlu membutuhkan kemampuan untuk memperoleh riwayat penyakit pasien. Dalam
anamnesa gunakan bahasa yng mudah dipahami berdasarkan tingkat intelegensinya,
sehingga pemilik dapat memberikan jawaban yang benar. Pertanyaan juga hindari
pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, dengan demikian buatlah
pertanyaan-pertanyaan singakat yang dan menghasilkan jawabab yang jelas
mengenai, gambaran keadaan hewan mulai sakit, sampai sekarang,
Kejadian-kejadian pada waktu lampau yang ada hubungannya dengan penyakkit yang
sekarang diderita, keadaan lingkungan, hewan serumah/sekndang, tetangga dan
lain-lain sebagainya (Aspinal. 2006)
Temperatur dapat diukur melalui rongga mulut dan melalui lubang anus.
Sebelumnya olesi ujung thermometer dengan bahan pelicin (missal vaselin).
Masukkan ujung thermometer ke lubang anus, tunggu sampai angkanya terhenti (± 3
menit) dan hitung skalanya. Jika dilakukan pada rongga mulut (rongga pipi) maka
hasil ditambah 0,5oC karena adanya evaporasi (penguapan). Suhu normal pada anjing adalah 37,8oC – 39,5oC. Pulsus pada
hewan kecil dapat diraba pada arteri femoralis (sebelah medial femur) dan
lakukan penghitungan selama 1 menit. Bila mengalami kesulitan dapat dilakukan
selama 15 detik kemudian dikalikan empat. Frekuensi pulsus normal pada anjing
adalah 76-148 kali/menit. Frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan
gerak toracoabdominal dalam keadaan hewan istirahat dan tenang atau juga dapat
dengan memperhatikan udara yang keluar masuk melalui lubang hidung . Untuk normalnya pada anjing adalah 24-42 kali/menit (Boddie,
1956).
Pemeriksaan
selaput lendir meliputi conjunctiva, hidung, mulut, dan vulva. Pada conjunctiva, geser ke atas kelopak mata atas dengan ibu jari, gantikan ibu
jari dengan telunjuk sedikit ditekan, maka akan tampak conjunctiva palpebrarum.
Tekan kelopak mata bawah dengan ibu jari maka conjunctiva palpebrarum bawah
akan tampak pula. Normal pada anjing berwarna pink. Pada hidung, mulut dan vulva pada keadaan normalnya selalu basah dan
berwarna pink, selain itu lakukan juga pemeriksaan CRT (Capilary Refiil Time/
waktu terisinya kembali kapiler) dengan cara membuka bibir hewan kemudian
menekan gusi dan melepaskan kembali. Waktu normal maximal 2 detik (Boddie,
1956).
Pemeriksaan
rambut dapat dilakukan dengan mengamati keteraturan susunan rambut, tingkat
kerontokan, dan kilauan. Sedangkan pada rambut dapat diinspeksi lesi-lesi atau
abnormalitas yang nampak. Tingkat elastisitas dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan turgor dengan mengangkat kulit bagian tengkuk dan mengukur waktu
kembali. Anjing normal mempunyai waktu turgor kurang dari 2 detik.Lama waktu
turgor menunjukkan status dehidrasi anjing (Boddie, 1956).
KESIMPULAN
Sebelum melakukan
pemeriksaan, didahului dengan melakukan sinyalmen dan anamnesa dengan
keterangan dari klien. Tata cara pemeriksaan fisik hewan dapat dilakukan dengan
catur indera pemeriksa, yakni dengan penglihatan, perabaan, pendengaran,
serta penciuman (pembauan) antara lain dengan cara inspeksi, palpasi atau
perabaan, perkusi atau mengetuk, auskultasi atau mendengar, mencium atau
membaui, mengukur dan menghitung, pungsi pembuktian, tes alergi, pemeriksaaan
laboratorium klinik serta pemeriksaan dengan alat dignostik lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Andayani, Candra, N. 2012. Pemeriksaan Anjing.
Yogyakarta: UGM
Aspinal, Victoria. 2006. The Complete
Textbook of Veterinary Nursing. London : Elsevier.
Boddie, G. 1956. Diagnostic
Methods in Veterinary Medicine. London: Oliver and Boyd.
Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in
Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Ettinger, Stephen J, et al. 2010. Textbook
of Veterinary Internal Medicine, Sixth Edition.US:Saunders
Elsevier.
Ikliptikawati, Dini, K. 2014. Petunjuk Praktikum
Diagnosis Klinik Veteriner. Makassar: Program
Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran UNHAS.
Kozier, Barbara.1995. Fundamental of Nursing :
Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition.
Menlo Park : Calofornia.
Lane and Cooper.B. 2003. Veterinary
Nursing (Formerly Jones Animal Nursing 5th). USA : Pergamon.
Potter and Perry. 2000. Perry Guide to Basic Skill
and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester
Monica. Jakarta : EGC
Rendrawan, Dedy. 2014. Penuntun Praktikum Ilmu
Bedah Umum Veteriner. Makassar: Program
Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Soegiri, J dan Wulansari, Retno. 2007. Cara-cara
mengekang Hewan. IPB Press: Bogor.
Triakoso, Nusdianto. 2011. Penuntun
Praktikum Pemeriksaan Fisik Ilmu Penyakit Dalam Veteriner
I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga.
Widodo, Setyo. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil.
Bogor: IPB Press.
Langganan:
Postingan (Atom)