Sabtu, 16 Mei 2015

Toksikologi Veteriner


 
MEKANISME TERATOGENIK

Oleh:

TRI MARSIDAH
1202101010085
Kelas : B


Pendidikan Dokter Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
2015





1.              Pengertian
Teratogen adalah suatu obat atau zat yangmenyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal. Kata teratogen berasal daribahasa Yunani yaitu ‘teratos’, yang berarti monster, dan ‘genesis’ yang berarti asal. Jadi teratogenesis didefinisikan sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhanyang menghasilkan monster.

Teratogenik adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari perubahan fisiologi dan biokimia. Senyawa teratogen akan berefek teratogenik pada suatu organisme, bila diberikan pada saat organogenesis. Apabila teratogen diberikan setelah terbentuknya sel jaringan, sistem fisiologis dan sistem biokimia, maka efek teratogenik tidak akan terjadi Teratogenesis merupakan pembentukan cacat bawaan.

2.      Mekanisme Teratogenik
Kerentanan terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium perkembangan saat paparan. Masa yang paling sensitif untuk menimbulkan cacat lahir pada manusia adalah masa kehamilan minggu ketiga hingga kedelapan. Masing-masing sistem organ mempunyai satu atau beberapa stadium kerentanan. Manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis dan lamanya paparan terhadap suatu teratogen. Teratogen bekerja dengan cara spesifik pada sel-sel dan jaringan ringan yang sedang berkembang untuk memulai patogenesis yang abnormal. Manifestasi perkembangan abnormal adalah kematian, malformasi, keterlambatan perkembangan, dan gangguan fungsi (Anonimus, 2003).

Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan coba. Terdapat beberapa jenis mekanisme yang terlibat dalam efek teratogennya.
1.              Gangguan terhadap asam nukleat
Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi (suatu tahapan pembentukan DNA) asam nukleat, atau translasi RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit dan intercelating agents. Beberapa zat kimia ini memang sudah aktif, sedangkan yang lainnya, misalnya aflatoksin dan talidomid membutuhkan bioaktivasi.


2.              Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas
Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan substrat (misalnya defisiensi makanan) atau bertindak sebagai analog atau antagonis vitamin, asam amino esensial, dan lainnya. Selain itu hipoksia dan penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang membutuhkan oksigen dan mungkin juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas. Hal ini dapat menyebabkan edema atau hematoma, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan.
3.              Penghambatan enzim
Adanya penghambat enzim dapat menyebabkan cacat karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan kerja suatu enzim. Akibatnya suatu organ mengalami ketidaksempurnaan dalam penyusunannya, sehingga akan terlahir dalam keadaan cacat.
4.              Lainnya
Hipervitaminosis A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membrane sel embrio hewan pengerat, suatu mekanisme yang dapat menerangkan tertogenitas vitamin A. Faktor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan hipertermia, serta trauma mekanik.

Banyak zat-zat kimia terbukti bersifat teratogen pada hewan coba tetapi tidak pada manusia yang mungkin disebabkan manusia kurang rentan dan tingkat pajanan yang tinggi pada manusia. Efek teratogenik suatu zat kimia dapat muncul berupa tingkat kebuntingan yang rendah, jumlah anak per induk yang berkurang dan ketahanan hidup janin yang rendah (Frank, 1995).

Perkembangan tidak normal dapat disebabkan oleh faktor genetik seperti mutasi dan aberasi serta faktor lingkungan baik yang berasal dari obat, radiasi, infeksi, defisiensi dan emosi. Banyak zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat atau translasi RNA. Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang digunakan untuk metabolisme dengan cara langsung  mengurangi persediaan substrat dan analog seperti glukosa, asam amino dan vitamin. Kondisi hipoksia juga bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dalam proses metabolisme yang membutuhkan oksigen yang dapat mengakibatkan  ketidakseimbangan osmolaritas. Ketidakseimbangan ini meyebabkan odema yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan (Yatim, 1982; Poernomo, 1999).

Mekanisme terjadinya efek teratogenik akibat obat-obat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mekanisme kerja teratogen adalah sebagai berikut (Harbinson, 2001):
1.              Pemecahan kromosom
Pemecahan kromosom dapat menyebabkan defisiensi atau penataulangan kromosom. Aberasi kromosom dapat disebabkan oleh virus, radiasi atau senyawa kimia. Defisiensi kromosom biasanya bersifat letal terhadap sel atau organisme dan kelebihan kromosom juga akan merusak sel.
2.              Mutasi
Merupakan dasar cacat perkembangan yang merupakan perubahan urutan nukleotida pada DNA. Informasi yang dikode pada DNA akan disalin dengan salah ke RNA dan protein. Bila berefek pada sel somatik maka tidak akan bersifat turunan. Mutasi sel somatik pada awal sel embrionik dapat mempengaruhi sel yang sedang berkembang, menyebabkan cacat struktur dan fungsi. Mutasi dapat disebabkan radiasi, zat kimia, senyawa pengalkilasi dan faktor lain yang menyebabkan pemecahan kromosom
3.              Gangguan mitosis
Gangguan mitosis disebabkan senyawa sitotoksik yang menghambat sintesa DNA sehingga memperlambat miosis. Benang mitosis  gagal terbentuk akibat senyawa kimia yang menggangu polimerasi tubulin kedalam kumparan mikrotubula. Tanpa kumparan tersebut, kromosom tidak dapat memisah pada fase anafase. Kondisi ini dapat terjadi karena pengaruh radiasi dosis tinggi atau senyawa radiometrik.
4.              Kurang prekusor dan substrat untuk biosintesa
Biosintesa akan berubah karena kurangnya zat makanan tertentu. Adanya analog vitamin, asam amino tertentu, dan pirimidin dapat menyebabkan metabolit yang tidak normal dalam biosintesa.
5.              Mengubah integritas asam nukleat atau fungsinya
Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik dan antineoplasma. Senyawa ini dapat mengganggu replikasi, transkripsi dan translasi RNA. Gangguan translasi RNA dan sintesis protein merupakan mekanisme teratogenitas senyawa sitotoksis. Senyawa yang dapat mengganggu sintesa protein umumnya bersifat embriosida tapi dapat bersifat teratogenik.
6.              Suplai energi
Terganggunya suplai energi seperti kekurangan sumber glukosa dapat mengganggu perkembangan fetus. Gangguan glikolisis oleh senyawa iodo asetat dapat mengurangi penghasilan energi dan dapat menyebabkan kelainan pada fetus dan kurangnya riboflavin dapat menyebabkan teratogenitas.
7.              Perubahan sifat membran
Perubahan sifat membran dapat menyebabkan ketidakseimbangan osmolar. Hipervitaminosis A dapat merusak membran seluler pada embrio rodensia.
8.              Fungsi enzimatis
Fungsi enzimatis ini penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi. Antagonis asam folat akan menghambat dehidrofolat reduktase dan bersifat teratogenik. Asetazolamid menghambat karbonik anhidrase dan akan mempengaruhi perkembangan fetus. Senyawa-senyawa teratogenik ini menghambat enzim dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus.

Secara natural cacat itu sulit dipastikan apa penyebabnya yang khusus. Mungkin sekali gabungan atau kerja sama berbagai faktor genetis dan lingkungan. Secara experimental dapat dibuat cacat dengan mempergunakan salah satu teratogen dan mengontrol faktor lainnya. Proses kerja teratogen adalah sebagai berikut :
1.      Mengubah kecepatan proliferasi sel
2.      Menghalangi sintesa enzim
3.      Mengubah permukaan sel sehingga agregasi tidak teratur
4.      Mengubah matrix yang mengganggu perpindahan sel-sel
5.      Merusak organizer atau daya kompetisi sel berespons (Yatim, 1994).

Kelainan teratogenik yang timbul ditentukan oleh tempat kerja (site of action) dan tahap kerja (stage of action) dari perkembangan organ yang dipengaruhi.  Terdapat empat tingkatan aksi zat teratogen yaitu:
1.      aksi primer yang terjadi pada kompartemen intraseluler (intracellular compartement) pada rangkaian interaksi antara inti dan sitoplasma pada produksi metabolit yang khas dari sel tersebut.
2.      aksi primer terjadi karena kelainan dalam struktur dan fungsi dari permukaan sel (cell surface).
3.      terjadi karena ketidaknormalan pada matriks ekstraseluler (celluler matrix).
4.      pada lingkungan janin (fetus environment) ketidaknormalan pada tingkat organisme atau dalam hubungan feto-maternal.

Tahap kerja (Stage of Action) pada perkembangan organ tubuh, tahap ini merupakan tahap perkembangan organ selama embriogenesis berupa rangkaian tingkat yang berbeda-beda yang dikontrol dengan tepat. Pada tahap ini akan terbentuk susunan jaringan yang teratur dengan bentuk dan ukuran yang spesifik serta stadium pertumbuhan ini sangat peka terhadap faktor genetik maupun faktor lingkungan. Perubahan pada tiap tahap pertumbuhan mempunyai kepekaan terhadap teratogen yang berbeda. Perkembangan suatu organ meliputi kejadian-kejadian yang dapat dibedakan menjadi : determinasi, proliferasi, organisasi seluler, migrasi dan kematian morfologik sel (Yatim, 1982).





















DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Lukman, Epi. (2011). Teratologi. [Online]. Tersedia: http://epyfkh.blog.unair.ac.id/category/teratologi/ [7 April 2013] 
http://www.everythingessential.me/HealthConcerns/MuscularDystrophy.html
Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito: Bandung.




Ilmu Penyakit Dalam Hewan Kecil



LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
ILMU PENYAKIT DALAM HEWAN KECIL

DISUSUN
OLEH:

KELOMPOK IX
Baida Murliana
Tri Marsidah
Nurul A’la
Nabila Latifa H.S
Yuza Al-Iqwal
Irsyad Arfi Putra
Rori Setiadi Ginting




LABORATORIUM KLINIK
PROGAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2015

PENDAHULUAN
1.1  Tinjauan Pustaka
Handling adalah memegang hewan dengan tangan. Sedangkan restrain adalah pembatasan aktivitas hewan dengan verbal, fisik, atau farmakologis. Artinya sehingga hewan tersebut dicegah dari melukai dirinya sendiri atau orang lain. Merestrain anjing secara paksa berbahaya untuk kedua handler dan hewan. Oleh karena itu pemiliknya sangat baik untuk menangani dengan aman dan manusiawi dengan lembut dan meminimalisir pengendalian fisik (Andayani, 2012).

Penggunaan agen farmakologis untuk membantu dalam restrain dibolehkan ketika: a) prosedur yang menyakitkan, b) prosedur yang memerlukan memegang seekor hewan dalam posisi yang membahayakan pernapasannya, dan c) hewan sangat takut atau agresif (Andayani, 2012).

Tujuan dari restrain antara lain:
1.      Untuk memudahkan pemeriksaan fisik, termasuk tetes mata dan pemeriksaan rektal,
2.      Untuk mengelola lisan, bahan suntik, dan topikal,
3.      Untuk menerapkan perban,
4.      Untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya kateterisasi urin), dan
5.      Untuk mencegah melukai diri sendiri (Elizabeth collar) (Andayani, 2012).
Tetapi strain pada anjing juga beresiko menyebabkan: 1. Dyspnea, 2. Hyperthermia, 3. Trauma jaringan (mis. otot lurik), dan stress (Andayani, 2012).
Restrain (pengekangan) tindakan mencegah aksi atau gerakan maju dengan kekuatan moril atau fisik maupun dengan membuat suatu hambatan. Jadi pengekangan adalah proses pencegahan suatu aksi atau gerakan dan pengekangan pasien adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang dokter hewan (Soegiri, 2007).

Sedative dan anastesi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah pergerakan dan kegunaannya tidak boleh diabaikan. Kadang-kadang kombinasi suatu cara pengekangan fisik yang sederhana dengan suatu sedative sudah cukup, sedangkan dalam hal lain diperlukan anastesi sempurna, atau seekor hewan diberi anastesi serta kakinya diikat untuk mencegah masuknya debu pada luka yang terbuka (Soegiri, 2007).   

Restraint dengan cara yang sama Pada anjing moncong panjang: ”Loop” dari tali kompor atau perban dengan simpul surgeon’s knot diselipkan ke moncong anjing kemudian dikencangkan (posisi organ searah dengan anjing, tidak berhadapan dengan anjing). Selanjutnya tali ditarik kebawah dagu dan disimpul dengan overhand knot, kemudian tali ditarik kearah dorsal leher dan disimpul dengan kuat dengan reefers’s knot (Rendrawan, 2014).

Jika pada moncong pendek, caranya sama dengan anjing moncong panjang, tetapi harus dilanjutkan dengan menarik salah satu dari dua ujung tali didorsal leher ke arah rostral, dikaitkan dengan ‘loop’ yang pertama lalu ditarik kembali kearah dorsal. Kemudian dengan ujung tali yang lain disimpul atau dibuat simpul menggunakan metode reefer’s knot (Rendrawan, 2014).

Menurut Boddie (1962), sejarah dari suatu kasus dapat dibagi menjadi pre history,  immediate history, dan post history.
1.      Prehistory
Merupakan cerita mengenai kejadian-kejadian sebelum terjadinya penyakit yang dikomplainkan klien. Misalnya saja penyakit yang dulu pernah diderita pasien, kebuntingan yang dulu pernah dialami pasien (jika betina), komplikasi yang terjadi pada kebuntingan yang terdahulu, mungkin  juga penyakit yang pernah dialami teman bermain si anjing, cara pemberian makan, dan mungkin juga keadaan lingkungan tempat tinggal anjing.
2.      Immediate history
Merupakan sejarah sejak hewannya pertama kali menunjukkan gejala penyakit yang dikomplainkan oleh klien hingga saat pasien dibawa dan dirawat oleh dokter hewan. Di sini klien dapat menceritakan kemungkinan terjadinya penyakit pada klien menurut apa yang dilihatnya. 

3.       Post History
Merupakan sejarah dimana hewan tersebut menunjukann gejala atau perubahan-perubahan setelah dirujuk ke dokter hewan lain atau dengan pemberian obat terlebih dahulu sebelum dirujuk ke dokter hewan(Boddie, 1956).

Sinyalmen atau jati diri atau identitas diri atau ciri-ciri seekor hewan merupakan ciri pembeda yang membedakannya dari hewan lain sebangsa dan sewarna meski ada kemiripan satu sama lainnya (twin) (Widodo, 2011). 
Sinyalmen terdiri dari data pasien yang harus diketahui seperti nama/nomor, spesies, ras/breed, kelamin/sex, umur/age, bulu dan warna/spesifik pattern, berat badan dan tanda-tanda lain yang penting, dan data yang lain yang harus diketahui yaitu data klien yang berupa nama, alamat dan nomor telepon (Ikliptikawati, 2014).  
 Anamnesis atau history atau sejarah hewan adalah berita atau keterangan atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa dating berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa keterangan tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika pemilik telah sering dating berkonsultasi (Widodo, 2011).
 Sinyalemen merupakan identitas diri suatu hewan yang membedakannya dengan hewan lain. Hal tersebut berupa nama, spesies, ras/breed, sex/kelamin, umur/age, warna, berat badan, tanda khusus. Sinyalemen juga dapat membantu untuk mengetahui kerentangan suatu penyakit yang dapat terjadi pada hewan (kambing).Setelah sinyalemen,  dilakukan anamnesa yang berupa keterangan dari pemilik hewan. Biasanya kambing yang dipelihara pribadi maupun di ternakkan akan mendapatkan keterangan yang berbeda (Triakoso, 2011).

Inspeksi dan adspeksi diantaranya melihat, membau, dan mendengarkan tanpa alat bantu. Diusahakan agar hewan tenang dan tidak curiga kepada pemeriksa. Inspeksi dari jauh dan dekat terhadap pasien secara menyeluruh dari segala arah dan keadaan sekitarnya. Diperhatikan pula ekspresi muka, kondisi tubuh, pernafasan, keadaan abdomen, posisi berdiri, keadaan lubang alami, aksi dan suara hewan (Boddie. 1962).

Pulsu, temperatur dan nafas; Pulsus diperiksa pada bagian arteri femoralis yaitu sebelah medial femur (normal: 92-150/menit). Nafas diperiksa dengan menghitung frekuensi dan memperhatikan kualitasnya dengan melihat kembang-kempisnya daerah thoraco-abdominal dan menempelkan telapak tangan di depan cuping bagian hidung (normal: 26-48/menit). Temperatur diperiksa pada rectum dengan menggunakan termometer (normal: 37,6-39,4) (Boddie. 1962).

Conjunctiva diperiksa dengan cara menekan dan menggeser sedikit saja kelopak mata bawah. Penampakan conjunctiva pada kucing tampak pucat. Membran mukosa yang tampak anemi (warna pucat) dan lembek merupakan indikasi anemia. Intensitas warna conjunctiva dapat menunjukkan kondisi peradangan akut seperti enteritis, encephalonitis dan kongesti pulmo akut. Cyanosis (warna abu- abu kebiruan) dikarenakan kekurangan oksigen dalam darah, kasusnya berhubungan dengan pulmo atau sistem respirasi. Jaundice (warna kuning) karena terdapatnya pigmen bilirubin yang menandakan terdapatnya gangguan pada hepar. Hiperemi (warna pink terang) adanya hemoragi petechial menyebabkan hemoragi purpura (Boddie. 1962).

Pemeriksan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan adanya kelainan-kelainan dari suatu sistim atau suatu organ tubuh dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi) dan mendengarkan (auskultasi) (Kozier et al., 1995).

Pemeriksaan fisik adalah metode pengumpulan data yang sistematik dengan memakai indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan rasa untuk mendeteksi masalah kesehatan klien.Untuk pemeriksaan fisik perawat menggunakan teknik inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (Potter & Perry, 1997).

Melihat, membau, dan mendengar penting untuk pemeriksaan fisik. Dokter hewan yang baik menghindari membuat keputusan diagnosa berdasarkan data turunan dari laboratorium yang melewatkan pemeriksaan fisik karena korelasi semua data relevan untuk determinasi diagnosa yang tepat.Ketika memungkinkan, suhu dan berat badan hewan seharusnya dicatat sebelum dokter hewan masuk ruang pemeriksaan. Hal ini dilakukan oleh kooperator yang berkesempatan untuk komunikasi dengan pemilik hewan atau klien, mengumpulkan informasi yang berhubungan, catat perubahan berat, dan identifikasi pemilik hewan atau klien.Ini adalah kesempatan yang baik bagi kooperator untuk mencatat obat yang baru saja diberikan, penggunaan agen profilaksis (misal untuk cacing hati dan kutu), status vaksinasi hewan, dan status reproduksinya (misal mandul, normal, atau siklus birahi terakhir).Pemeriksaan fisik mulai ketika dokter hewan memasuki ruang pemeriksaan. Dokter klinik harus melihat kenampakan umum tentang hewan.(Ettinger, 2010).

1.2  Tujuan
Secara umum, pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan :
1.      Untuk mengumpulkan dan memperoleh data dasar tentang kesehatan klien.
2.      Untuk membuat penilaian klinis tentang perubahan status kesehatan klien dan penatalaksanaan.
3.      Menentukan atau mengukur pulsus atau pulsasi denyut jantung hewan
4.      Menentukan atau mengukur suhu tubuh hewan melalui rektum
5.      Untuk melakukan prosedur tertentu (misalnya kateterisasi urin), dan
6.      Untuk mencegah melukai diri sendiri (Elizabeth collar) (Andayani, 2012).



 
MATERI DAN METODE

1.      Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan saat praktikum antara lain: timbangan, thermometer, hammer, stetoskop, tali kompor atau tali yang kuat untuk menghandling anjing maupun kucing, infus set, jarum suntik, gunting bedah tumpul-tumpul bengkok, aboket 22 dan 24, kapas dan perban. Bahan-materi atau bahan yang digunakan yaitu cairan infus, alcohol 70% dan hewan praktikum berupa satu ekor anjing dan satu ekor kucing.

2.      Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah cara handling dan restrain serta vena sectio. Teknik restrain pada anjing kecil dilakukan dengan cara tangan kanan diselipkan ke ventral tubuh anjing dengan jari tangan (kecuali ibu jari) dilewatkan di antara kedua kaki depan, sehingga menyangga bagian dada anjing. Tangan kiri digunakan untuk memegang kulit bagian dorsal sehingga anjing tidak dapat menggigit. Usahakan agar tubuh hewan terletak nyaman di pinggang pembawa. Untuk anjing ras besar, restrain dapat dilakukan dengan cara menggendong, maka posisi anjing berada di depan pembawa. Pada metode ini sebaiknya anjing direstrain moncongnya untuk mencegah gigitan.

Teknik restrain pada kucing yaitu tangan diselipkan di bagian ventral tubuh kucing, dengan posisi jari teunjuk menopang dada kucing dan bagian jari lain menjepit kaki depan kucing. Tangan kiri menahan bagian dorsal leher dengan lembut, selanjutnya kucing diangkat. Jepit tubuh kucing di antara tekukan lengan dan pinggang.

Cara restrain moncong pada anjing yaitu ada dua yaitu restrain moncong panjang dan moncong pendek. Pada anjing moncong panjang ada dua metode yang dapat digunakan yaitu metode 1: ”Loop” dari tali kompor atau perban dengan simpul surgeon’s knot diselipkan ke moncong anjing kemudian dikencangkan (posisi organ searah dengan anjing, tidak berhadapan dengan anjing). Selanjutnya tali ditarik kebawah dagu dan disimpul dengan overhand knot, kemudian tali ditarik kearah dorsal leher dan disimpul dengan kuat dengan reefers’s knot. Pada metode dua moncong terikat pada waktu yang lebih cepat dibandingkan metode pertama, namun dari segi keamanan lebih rendah. Restrain moncong untuk anjing bermoncong pendek sama seperti restrain moncong panjang metode 1, namun harus dilanjutkan dengan menarik salah satu dari dua ujung tali di dorsal leher ke rostral, dikaitkan dengan ‘loop’ yang pertama lalu ditarik kembali kea rah dorsal. Kemudian dengan ujung tali yang lain disimpul atau dibuat simpul menggunakan metode reefers’s knot. Adapun restrain moncong kucing sama dengan restrain anjing moncong pendek.

Restrain untuk injeksi intravena, pada anjing diperlukan pembantu/asisten intuk merestrain anjing tersebut. Asisten menahan kepala anjing dengan lengan kanan. Tangan yang lain menahan kaki depan anjing sekaligus membendung vena cephalica. Sedapat mungkin lengan kiri menjepit tubuh hewan agar tetap tenang. Pada kucing, restrain dilakukan dengan cara kaki depan kiri (terutama carpal) dan kepala kucing ditahan dengan tangan kiri. Ibu jari asisten menekan cakar kucing sehingga menempel pada muka kucing. Jari-jari tangan yang lain dilingkarkan di bagian dorsal leher kucing sehingga posisi kucing terkunci. Tangan kanan asisten digunakan untuk menahan kaki depan kanan sekaligus untuk membendung vena cephalica. Posisi lengan diusahakan dapat menjepit tubuh kucing agar tetap tenang.

Metode yang digunakan adalah metode sinyalmen, anamnesis, inspeksi, palpasi, mencium atau membaui, auskultasi, pemeriksaan laboratorium klinik dan pemeriksaan dengan alat diagnostik lain yang harus dilakukan dalam pemeriksaan klinis pada kucing dan anjing.

Metode inspeksi dilakukan dengan cara melihat, membau, dan mendengarkan tanpa alat bantu. Metode palpasi (meraba) dilakukan dengan cara superficial maupun profundal. Palpasi superficial dilakukan dengan meraba seluruh tubuh kucing dan anjing dimulai dari kepala hingga ke ekor hanya pada bagian superficial, sedangkan palpasi profundal dilakukan hampir sama dengan cara palpasi superficial namun dengan sedikit menekan untuk memastikan tidak ada kelainan pada tubuh anjing ataupun tidak ada tulang yang patah.

Metode perkusi (mengetuk), perkusi dapat dilakukan dengan menggunakan hammer ataupun dengan menggunakan ujung jari. Perkusi yaitu mengetuk-ngetuk bagian tubuh kucing dan didengarkan ada tidaknya kelainan atau bunyi yang berbeda (tidak normal) pada beberapa bagian tubuhnya seperti perkusi daerah abdomen untuk mendengarkan suara usus kucing, perkusi daerah thorax untuk mendengarkan suara normal dan tidak normal pada paru-paru dan jantung, dapat juga dilakukan perkusi pada bagian hidung untuk mengetahui ada tidaknya penumpukan cairan atau kelainan yang lain.

Mencium atau membaui, ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan aroma atau bau yang ditimbulkan atau dikeluarkan dari lubang umlah hewan yang nantinya akan dapat menuntun pemeriksaan fisik hewan pada kejadian penyakit tertantu.

Metode auskultasi (mendengarkan), dilakukan dengan menggunakan stetoskop. Auskultasi biasanya digunakan untuk mendengar suara jantung hewan, suara paru-paru, suara gerakan peristaltik lambung maupun suara detak jantung janin pada kehamilan trimester akhir atau kebuntingan tua.

Pemeriksaan laboratorium klinik dimaksudkan untuk melengkapi data agar diperoleh keputusan diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemeriksaan dapat dilakukan atas sampel asal hewan/pasien untuk tujuan pemeriksaan histologis-patologis, bakteriologis, parasitologis, serologis-immunologis, mikologis dan hematologis.

Pemeriksaan dengan alat diagnostik lain seperti endoskopi (laringoskopi, bronchoskopi, rektoskopi), ultrasonografi, X-Ray, elektrokardiografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computed Tomography Scanning (CT Scan).




HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Hasil
Pada praktikum ini, diperoleh data pasien (sinyalmen) berupa:
Nomor                     : 01                                  Tanggal           : 25 Maret 2015
Nama                      : Doggy                            Jenis hewan     : Anjing
Pemilik                   : Rori Setiadi                    Alamat            : Peukan Bada
Ras/Breed               : Domestik
Kelamin/Sex          : Jantan
Umur                     : 2 Bulan
Bulu Dan Warna   : keadaan bulu bersih, warna coklat
Berat Badan          : 2 kg
Tanda-Tanda Lain : bagian dagu terdapat corak hitam, moncong warna hitam, ekor hitam panjang.
                                              
Setelah sinyalmen, dilakukan anamnesa yang berupa keterangan dari pemilik hewannya tentang sejarah penyakit si pasien (hewan) diperoleh:
1.      Status Present :
·         Keadaan Umum:
a.       Gizi                       : Baik
b.      Temperamen          : Stres / Penakut
c.       Habitus                  :  Lodorsis
·         - Frekuensi nafas         : 150/menit- tidak normal akibat karena anjing stres.
-          Frekuensi Pulsus   : 160/menit- tidak normal akibat karena anjing stres.
-          Suhu Tubuh           : 38,8°C  Normal
·         Kulit dan Bulu                        : Normal / tidak ada rontok
·         Selaput lendir              : Normal ( Basah)
·         Kelenjar Limfe            : Normal (tidak ada yang bengkak)
·         Alat Pernafasan           : Normal
·         Alat Peredaran Darah : Normal
·         Alat Pencernaan          : Normal
·         Alat Kelamin               : Normal
·         Urat Saraf                   : Normal
·         Alat Gerak                  : Normal ( tidak ada luka pada anggota gerak) dan Lengkap.
·         Lain-lain                      : ekor menekuk kedalam.

Pada hewan yang diinspeksi selama praktikum ditemukan bahwa pasien tidak aktif (kurang bergerak dan malas), cara berjalan normal, warna rambut normal/cerah, terdapat leleran disekitar hidung, bagian tubuh lain seperti kulit normal, tidak terdapat tonjolan ataupun lesi, daerah sekitar mulut bersih, tidak mengalami dehidrasi setelah dilakukan pemeriksaan kulit, CRT normal, serta bau mulut normal.

Pemeriksaan pulsus dilakukan dengan cara meraba hewan kecil dibagian arteria femoralis di sebelah medial dari femur dan dilakukan perhitungan selama satu menit, dan pada perhitungan frekuensi nafas dilihat dari gerakan daerah toracoabdominal dalam keadaan hewan istirahat dan dihitung frekuensi nafasnya selama satu menit. Pemeriksaan pulsus diperoleh pulsus anjing 160 kali/menit, dan frekuensi nafasnya 150 kali/menit. Untuk mengukur suhu tubuh digunakan thermometer digital ataupun thermometer air raksa. Jika menggunakan thermometer air raksa, kolom air raksa terlebih dahulu diturunkan ke titik 0 lalu ujungnya diberi vaselin sebagai pelicin kemudian dimasukkan ke dalam anus si pasien, jika menggunakan thermometer digital lebih mudah yaitu dengan hanya memasukkan ujung thermometer ke dalam anus pasien dan menekan tombol ON dan ditunggu hingga adanya bunyi maka diperolehlah suhu tubuhnya. Suhu tubuh pasien pada praktikum ini yaitu 38,8 ˚C.

Pemeriksaan alat pencernaan. Pada mulut setelah dibuka tidak tercium bau urea, gusi berwarna pink pucat, lidah dan gigi bersih, pada faring, esophagus dan abdomen hingga ke daerah anus setelah dilakukan palpasi tidak menunjukkan batuk atau kontraksi berlebihan dari Anjing yang menunjukkan bahwa si pasien berada dalam keadaan sehat. Hanya saja didapatkan ekornya seperti menekuk kedalam.






2.       Pembahasan
Registrasi dilakukan untuk mencari data pasien maupun data dari klien atau pencatatan data pemilik dan data dari pasien. Registrasi untuk klien meliputi pencatatan nama, alamat, dan nomor telepon klien. Registrasi untuk pasien meliputi breed (ras), sex (jenis kelamin), age (umur), dan specific pattern (tanda yang menciri) (B-S-A-S). Registrasi ditulis di sebuah kertas yang disebut ambulatoir, dimana masing-masing spesies hewan berbeda-beda warnanya, sebagai contoh anjing dan kucing berwarna putih, sapi, hewan besar dan hewan eksotik berwarna pink dan unggas berwarna kuning (Lane and Coper.2003).

Pemeriksaan klinis pada Anjing meliputi pemeriksaan yang didahului dengan sinyalmen atau registrasi yang dilakukan terhadap pasien maupun terhadap klien (pemilik hewan). Pada sinyalmen data yang perlu diketahui tentang pasien berupa nama, spesies, ras, kelamin, umur, bulu dan warna, berat badan dan tanda-tanda lain yang penting. Nama hewan, umumnya kucing memiliki nama panggilan yang memudahkan pemilik hewan mendapati hewannya melalui isyarat atau notasi suara. Hal ini juga dapat membantu dokter hewan dalam menghandling hewan tersebut agar menuruti perkataan kita atau setidaknya menuruti perkataan pemiliknya untuk memudahkan dalam pemeriksaan. Ras atau bangsa hewan berkaitan erat dengan sifat-sifat yang diwariskan atau genetis terutama yang berkaitan dengan penyakit yang diturunkan. Memudahkan dokter hewan untuk mendapatkan gambaran cepat penyakit herediter. Jenis kelamin dalam sinyalmen memiliki arti diagnostik jika dikaitkan dengan penyakit yang dihubungkan dengan kelamin (Rendrawan, 2014).

Sinyalmen merupakan identitas diri suatu hewan yang membedakannya dengan hewan yang lain, di mana sinyalmen selalu dimuat di dalam pembuatan surat laksana jalan atau surat jalan bagi hewan yang akan dibawa dari satu tempat ke tempat lain. Fungsi lain dari sinyalmen adalah pencantuman status kesehatan hewan di surat kesehatan hewan atau surat statuus vaksinasi yang telah dijalaninya. Fungsi ketiga adalah identitas diri di dalam rekam medic kerumahsakitan (Soegiri, 2007).

Anamnesis merupakan sebuah riwayat yang baik  jika dibeikan oleh pengamat yang baik pula. Seringakali jawaban dari klien bersifat tidak benar, karena untuk menutupi suatu kelaianan yang diderita pasien ataupun pengobatan yang telah diberikan sebelumnya. Apa bila keadaan hewan tidak konsisiten dokter harus mencurigakan adanya pertanyaan palsu yang berikan oleh pemilik atau wakilnya. Dengan alasan apapun, riwayat yang demikian dipandang kurang untuk menguraikan masalah penyakit yang dihadapi. Dalam melakukan anamnesa seorang dokter hewan perlu membutuhkan kemampuan untuk memperoleh riwayat penyakit pasien. Dalam anamnesa gunakan bahasa yng mudah dipahami berdasarkan tingkat intelegensinya, sehingga pemilik dapat memberikan jawaban yang benar. Pertanyaan juga hindari pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak, dengan demikian buatlah pertanyaan-pertanyaan singakat yang dan menghasilkan jawabab yang jelas mengenai, gambaran keadaan hewan mulai sakit, sampai sekarang, Kejadian-kejadian pada waktu lampau yang ada hubungannya dengan penyakkit yang sekarang diderita, keadaan lingkungan, hewan serumah/sekndang, tetangga dan lain-lain sebagainya (Aspinal. 2006)

Temperatur dapat diukur melalui rongga mulut dan melalui lubang anus. Sebelumnya olesi ujung thermometer dengan bahan pelicin (missal vaselin). Masukkan ujung thermometer ke lubang anus, tunggu sampai angkanya terhenti (± 3 menit) dan hitung skalanya. Jika dilakukan pada rongga mulut (rongga pipi) maka hasil ditambah 0,5oC karena adanya evaporasi (penguapan). Suhu normal pada anjing adalah 37,8oC – 39,5oC. Pulsus pada hewan kecil dapat diraba pada arteri femoralis (sebelah medial femur) dan lakukan penghitungan selama 1 menit. Bila mengalami kesulitan dapat dilakukan selama 15 detik kemudian dikalikan empat. Frekuensi pulsus normal pada anjing adalah 76-148 kali/menit. Frekuensi nafas dapat dihitung dengan memperhatikan gerak toracoabdominal dalam keadaan hewan istirahat dan tenang atau juga dapat dengan memperhatikan udara yang keluar masuk melalui lubang hidung . Untuk normalnya pada anjing adalah 24-42 kali/menit (Boddie, 1956).

Pemeriksaan selaput lendir meliputi conjunctiva, hidung, mulut, dan vulva. Pada conjunctiva, geser ke atas kelopak mata atas dengan ibu jari, gantikan ibu jari dengan telunjuk sedikit ditekan, maka akan tampak conjunctiva palpebrarum. Tekan kelopak mata bawah dengan ibu jari maka conjunctiva palpebrarum bawah akan tampak pula. Normal pada anjing berwarna pink. Pada hidung, mulut dan vulva pada keadaan normalnya selalu basah dan berwarna pink, selain itu lakukan juga pemeriksaan CRT (Capilary Refiil Time/ waktu terisinya kembali kapiler) dengan cara membuka bibir hewan kemudian menekan gusi dan melepaskan kembali. Waktu normal maximal 2 detik (Boddie, 1956).

Pemeriksaan rambut dapat dilakukan dengan mengamati keteraturan susunan rambut, tingkat kerontokan, dan kilauan. Sedangkan pada rambut dapat diinspeksi lesi-lesi atau abnormalitas yang nampak. Tingkat elastisitas dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan turgor dengan mengangkat kulit bagian tengkuk dan mengukur waktu kembali. Anjing normal mempunyai waktu turgor kurang dari 2 detik.Lama waktu turgor menunjukkan status dehidrasi anjing (Boddie, 1956).




















KESIMPULAN

Sebelum melakukan pemeriksaan, didahului dengan melakukan sinyalmen dan anamnesa dengan keterangan dari klien. Tata cara pemeriksaan fisik hewan dapat dilakukan dengan catur indera pemeriksa, yakni  dengan penglihatan, perabaan, pendengaran, serta penciuman (pembauan) antara lain dengan cara inspeksi, palpasi atau perabaan, perkusi atau mengetuk, auskultasi atau mendengar, mencium atau membaui, mengukur dan menghitung, pungsi pembuktian, tes alergi, pemeriksaaan laboratorium klinik serta pemeriksaan dengan alat dignostik lain.







DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Candra, N. 2012. Pemeriksaan Anjing. Yogyakarta: UGM

Aspinal, Victoria. 2006. The Complete Textbook of Veterinary Nursing. London : Elsevier.

Boddie, G. 1956. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. London: Oliver and Boyd.

Boddie., G.F. 1962. Diagnostic Methods in Veterinary Medicine. Philadelphia: J.B.            Lippincott Company.

Ettinger, Stephen J, et al. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine, Sixth      Edition.US:Saunders Elsevier.

Ikliptikawati, Dini, K. 2014. Petunjuk Praktikum Diagnosis Klinik Veteriner. Makassar:     Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran UNHAS.

Kozier, Barbara.1995. Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth    edition. Menlo Park : Calofornia.
Lane and Cooper.B. 2003. Veterinary Nursing (Formerly Jones Animal Nursing 5th). USA :         Pergamon.
Potter and Perry. 2000. Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa       Ester Monica. Jakarta : EGC

Rendrawan, Dedy. 2014. Penuntun Praktikum Ilmu Bedah Umum Veteriner. Makassar:     Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Soegiri, J dan Wulansari, Retno. 2007. Cara-cara mengekang Hewan. IPB Press: Bogor.

Triakoso, Nusdianto. 2011. Penuntun Praktikum Pemeriksaan Fisik Ilmu Penyakit Dalam  Veteriner I. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga.

Widodo, Setyo. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.